Angin sore senja hari, meniup daun kering, menggoyang rumput ilalang di padang gersang, tak ada kehidupan dalam keraguan, hanya desah tua sang airmata, teman para kesepian, bunga kamboja mulai bersemi, namun kelopaknya nampak layu dan mulai berguguran.
Dinni terpaku di sebuah gundukan tanah yang masih basah, tangannya tak henti meremas tanah liat di sebuah kuburan baru, sebuah nama di atas nisan membuatnya semakin sedih. tanpa terasa ada lelehan butir bening dari sela matanya mengalir membasahi pipi, di sekanya dengan punggung tangan. dinni menangis.
“ mengapa harus begini “ dinni bergumam dalam hati, perih ia rasakan, merutuk dunia yang di anggapnya sangat tidak adil, Ingatannya kembali pada masa dimana awal mula kejadian ini terjadi,
“ pokoknya mami ng mau tau, putuskan hubunganmu dengan nden titik! “
“ tapi mi, dinni ng tau dengan cowo pilihan mami, dinni ng cinta dia mi, dinni cinta nden ? “ dinni menangis sejadinya
“ halaah apa artinya cinta, emang kamu bisa makan dengan cinta “ maminya tak kalah sengit
“ mami tega mengorbankan kebahagian dinni “ dinni ingin berteriak menumpahkan segala kesal di hatinya, namun ia tak ingin di cap sebagai anak durhaka
“ ooh jadi kalo dengan nden kamu bisa bahagia gitu “ maminya melotot
“ setidaknya dinni mencintai dia mi “
“ cinta bisa belakangan, nden itu ng punya masa depan, lain dengan sakeaz, dia anak seorang pengusaha kaya, relasi papimu, hidupmu bakalan terjamin, dan dengan cinta, cinta akan datang saat kamu sudah menikah dengannya “ dinni ng nyangka, kalo maminya ternyata matre, tega - teganya “menjual” dinni demi sebuah harta gumam dinni dalam hati.
“ sudah lupakan nden !, tinggalkan dia! “ maminya pergi meninggalkan dinni yang sedang menangis di tempat tidur, dunia seperti mau runtuh saja.
Dinni menyeka air mata yang meleleh di pipinya, di dalam kamarnya dia menyendiri, seharian dia tak keluar kamar, seharian dia tak mau makan, bahkan seharian dia tak pergi kuliah, pikirannya kalut, matanya sembab karena sering menangis, apa aku kabur saja ?, dan pergi bersama nden ?, terlintas sebuah pikiran pintas di benaknya, tapi aku ng berani ?, kata orang hubungan tanpa restu orang tua tak akan langgeng, dinni jadi serba salah,
Dinni memikirkan nden. Memikirkan kisah cintanya yang tragis.
Tak terasa senja mulai merangkak menuju malam, angin dingin mulai berhembus mempermainkan korden jendela untuk menari melambai lambai di terpa tiupannya, dinni bergeming, dengan merapatkan tangan di dada, dinni menutup jendela, tatapannya jauh dan kosong, menumbus keluar jendela. Apa yang harus kukatakan ke nden ?, apakah dia bisa terima ini ?.
“ aku mau ngomong nden “ kata dinni suatu siang, di bawah pohon beringin di halaman kampus.
“ ngomong apa ?, sepertinya serius neh “ nden menatap dinni lekat lekat, dahinya berkerut, tapi senyumnya malah terkembang, seolah ini hanya sebuah lelucon, di raihnya tangan dinni dan di letaknyan di pangkuannya
“ sepertinya hubungan kita harus berakhir sampai disini “ dinni menunduk, setetes air mata yang tak terbendung jatuh jua
“ putus maksud kamu ?, aku ng ngerti, kita sudah jalan hampir 3 tahun, dan..dan tiba2 saja kau bilang hubungan ini berakhir, alasannya apa? “ nden dibuat bingung, pikirannya jadi gusar, seketika wajahnya berubah serius.
“ aku sudah di jodohkan nden, dan mami ng merestui hubungan kita “ dinni masih menunduk, telunjuknya menyapu sebuah tetesan airmata yang melekat di pipi.
“ what!, di jodohkan ? tapi.. “ nden tak melanjutkan kata katanya, stupid think, rutuknya dalam hati, kedua tangannya memegang kepala dan menyisirnya kebelakang,
“ aku ng tau musti ngomong apa ke kamu, tapi yang jelas, bukan kamu saja yang merasakan sakit nden, aku juga sama “ tangisnya pun pecah, dinni benar benar tak bisa membendungnya
“ iya tapi dinni, argggh!!!, kamu kan bisa ngomong kalo kita sudah jalan sama selama 3 tahun ? “ nden menatap dinni seolah menginginkan penjelasan yang lebih
“ sudah nden, tapi mami tetap pada pendiriannya, dia ng peduli dengan cinta kita, dan aku juga, ng mau menentang dia, aku takut kualat nden “ dinni menoleh, matanya basah, pipinya pun basah oleh airmata. Nden terduduk lemas, pikirannya kosong, serasa separuh nyawanya tercabut, bersama keputusan dinni, tanpa sepatah kata, nden berdiri, dan pergi meninggalkan dini, yang kini tertunduk dan tenggelam dalam tangisan, ma�afin aku nden, gumannya lirih.
Siang terik menyengat bumi, menancapkan cakar panasnya di jalanan beraspal, membakar ilalang kering, juga membakar hati dinni menjadi abu kepiluan, kisah cintanya dengan nden harus kandas, tanpa berlabuh di dermaga cinta yang pernah mereka hayalkan, usaha nden untuk merebut hati mami dinni pun useless, sia sia belaka, sedikitpun tak ada rasa simpatik di hati sang mami, dia terlanjur memandang sebelah mata terhadap nden, dinni yang mati matian mempertahankan cintanya pun akhirnya harus luluh, entah keputus asaan telah bersemayam dalam hatinya, atau telah tumbuh benih cinta yang lain saat pertama kali dia bertemu dengan sakeaz calon suaminya, dimatanya sakeaz adalah sosok pelindung, orang yang lebih romantis di banding nden, dan lebih untuk segala galanya, lambat laun dinni pun mulai tenggelam dalam rengkuhan sikap simpatik sakeaz, tapi entah kenapa dia belum bisa melupakan nden, saat berada di sisi sakeaz, dia bisa sejenak melupakan nden, namun di lain waktu, kala dinni seorang diri, pikirannya menerawang ke nden, ini yang membuat dia semakin bingung, hatinya mulai bercabang.
Sayangnya kini mereka jarang sekali bertegur sapa,dinni yang belum sempat mengucap kata ma�af ke nden , pun tak berani mengusiknya, dia takut nden akan mengacuhkannya, dia takut, nden akan semakin marah kepadanya.
Hari berganti hari bulan berganti bulan, tak terasa 6 bulan sudah dinni menjalin hubungan dengan sakeaz, namun di hati dinni masih belum juga berubah, di satu sisi dia masih sayang sama nden, dan satu sisi, dia tak ingin kehilangan sakeaz . Hingga suatu hari, dinni mendengar kabar, bahwa sakeaz masuk rumah sakit, mobilnya tabrakan di jalan tol dengan sebuah truck tronton pengangkut semen, dan keadaan sakeaz sekarang kritis, dinni yang siang itu sedang mencatat nama nama teman yang akan dia undang ke acara perkawinannya yang akan di langsungkan 6 bulan lagi, segera pergi kerumah sakit, hatinya was was, pikirannya kacau, konsentrasinya buyar.dengan tergesa dia mengendarai mobilnya dengan kencang
tiba tiba saja seorang pejalan kaki melintas jalan dengan tergesa, dinni yang kurang kosentrasi sontak kaget, diapun berusaha menghindar dengan membanting setir kekiri menghindari menabrak si pejalan kaki, namun sial, seorang pemuda yang sedang berdiri di pinggir jalan menunggu sebuah angkutan tertabrak olehnya, tubuh pemuda itu pun terpelanting beberapa meter kebelakang tanpa sempat menghindar. sebelum tergolek tak sadarkan diri, tubuh pemuda itu sempat menabrak pohon beberapa meter di belakangnya, dinni langsung menjerit, dia panic, setengah berlari dia menghampiri tubuh si pemuda yang tak sadarkan diri, tubuhnya menelungkup,dan wajah si pemuda menghadap tanah, tenggelam dalam darah yang seketika menggenang di sekitar kepalanya.
“ aduh toloong, tolong “ dinni berteriak panic, sambil memegang tubuh sang pemuda, dia berusaha membalik tubuh pemuda itu namun tenaganya kurang kuat, tak lama kemudian, beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu berhamburan menghampiri lokasi tabrakan, dua lelaki separuh baya mangangkat tubuh sang pemuda dan membalikkannya, dinni menjerit, diantara darah yang melumuri wajah si pemuda dinni mengenalinya,
“ nden!!” dinni histeris, segala macam pikiran campur aduk dalam benaknya, ternyata yang ia tabrak tadi adalah nden, perasaan bersalah kembali menderanya, kenapa?, kenapa bisa nden?, kenapa harus nden? tanyanya dalam hati, ada sedikit rasa syukur di hatinya, mendapati ada detak jantung di nadi nden, menandakan bahwa nden masih hidup.
“ pak pak tolong di bawa ke mobil saya pak, saya antar ke rumah sakit “, di sela kepanikannya dinni meminta tolong orang yang membalik tubuh nden tadi, untuk membawa kedalam mobilnya, mata dinni berkaca kaca, dua orang ikut serta memegangi tubuh nden yang lemas, dari hidung dan telinga, darah segar tak henti hentinya keluar, mobilpun segera melaju dengan kencang, di sebuah rumah sakit, dimana sakeaz di rawat, mobil itu berhenti, dan beberapa perawat yang melihat segera memberikan pertolongan, membawa tubuh nden ke ruang UGD, setelah memberikan beberapa lembar uang ribuan, ke kedua orang yang membantunya, dinnipun berlari mengejar kereta dorong yang membawa tubuh nden.
“ ma�af mbak, mbak ini siapa, dan siapa yang akan bertanggung jawab, atas pasien tadi ? “ tanya seorang perawat
“ eem saya temannya pak, saya yang bertanggung jawab “ dinni menjawab dengan gusar, wajahnya pucat
“ kalo begitu harap mengisi formulir dulu, dan tunggu di luar, mbak ng boleh masuk “ kata perawat itu dengan ramah, dengan perasaan was was, dinni pun menuju ruang administrasi, setelah semua beres, dinni pun balik keruang tunggu di luar ruangan tempat nden di rawat, dan berusaha menghubungi keluarga nden, mengabarkan kalau nden mengalami kecelakaan.
“ dinni, ngapain kamu disini, sakeaz di ruang sebelah “ tiba tiba sebuah suara mengejutkannya, dinni menoleh, ternyata, si farbee adik sakeaz, yang kebetulan lewat dan melihat dinni duduk sendiri diraung tunggu sebuah ruangan UGD, ditangannya ada beberapa kantong darah, sepertinya dia habis belanja darah.
“ eem, oh gitu yaah “ dinni pun berdiri dari duduknya, dan berjalan mengikuti farbee, dua orang yang ia sayangi mengalami musibah, dan dua duanya di rawat di rumah sakit yang sama, dengan perasaan ragu dinni pun meninggalkan nden ruang tempat nden dirawat, berjalan pelan mengikuti langkah farbee menuju ke ruang sakeaz di rawat.
Dinni melihat sekujur tubuh sakeaz terbalut perban, sebelah kaki dan tangan kanannya tergantung pada sebuah tali, sementara itu di sebelahnya tergantung se akntong infuse yang tinggal separo, dan sekantung darah yang masih penuh, sakeaz masih koma, mama sakeaz tak henti menagis di sebelah ranjang, sambil mengelus � elus tangan sakeaz, sementara papanya, berusaha menenangkan sang mama, dinni mendekat, matanya berkaca � kaca, dinni duduk di samping mama sakeaz,
“ kenapa bisa begini ? “ dinni bergumam lirih
“ sabar ya din, namanya musibah, kita berd�oa saja semoga sakeaz tidak apa apa “ papa sakeaz menyentuh pundak dinni, seolah ingin menengangkan dinni,
“ iya om “ suara dinni lirih, bahkan hampir tak terdengar, derail air matanya semakin deras mengalir, haruskah semua berakhir sedih, dinni semakin kalut,
“ bertahanlah sakeaz please demi dinni “ suara lirih dinni tenggelam dalam sesenggukan tangisnya. Namun tiba tiba dia teringat akan nden, yang di tinggalkannya sendiri dalam rawatan dokter, apakah keluarga nden sudah datang ?, setelah pamit dengan alasan ingin ke kamar kecil, dinni berderap menuju ke ruang nden di rawat.
Ternyata kosong, nden sudah di pindah dari ruang itu, saat itu juga keluar dari ruangan seorang pearwat yang sedang membawa nampan berisi obat obatan
“ mbak orang yang baru masuk karena kasus kecelakaan tadi kemana? “ tanya dinni, dia semakin was was
“ oh bapak nden, sudah di bawa keluarganya pulang mbak, nyawanya tak tertolong “ jawab si perawat, seketika dinni merasa lemas seluruh ruangan terasa berputar, dan dunia pun menjadi gelap, dinni pingsan.
Saat siuman dia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang serba putih, di sampingnya, mami dinni, dan papinya tersenyum.
“ dinni dimana mi ? “ tanya dinni Manahan pusing di kepala, dia berusaha bangun dari tempat tidur
“ kamu masih di rumah sakit, tadi farbee telpon, katanya kamu pingsan, makanya papimu pulang cepat, takut kamu kenapa � kenapa” jawab mami dinni sambil membatu dinni bangun dari tempat tidur.
“ nden mi, nden....” dinni tak sanggup meneruskan kata katanya, airmatanya langsung mengalir deras, rasa bersalahnya semakin bertumpuk
“ mami tau, tadi si farbee yang ngasih tau mami, setelah dia di beritahu oleh soerang perawat yang nolong kamu “ kata mami dinni, dinni menghambur memeluk maminya. Tangisnya semakin menjadi,
Angin sore senja hari, meniup daun kering, menggoyang rumput ilalang di padang gersang, tak ada kehidupan dalam keraguan, hanya desah tua sang airmata, teman para kesepian, bunga kamboja mulai bersemi, namun kelopaknya nampak layu dan mulai berguguran.
Dinni bangkit dari gundukan tanah basah, dimana nden terbaring dengan damai untuk selamanya. di sela derai air matanya dinni berucap lirih
“ ma�afkan aku nden ”
Dalam keheningan senja, diiringi desah semilir angin senja, seekor burung pipit terbang rendah, sendiri, mengepak sayapnya yang terluka, kicau pilunya menggema, membuat miris hati yang mendengar, harapannya hanya satu, semoga esok mentari membawa kesembuhan pada luka yang di deritanya.
Tuesday, July 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment