Tuesday, August 26, 2008

Buku Bersampul Biru

Kusapu seluruh ruangan dengan pandangan mataku, semua telah kosong tak sedikitpun barang yang tertinggal.backpack dan koperku tergeletak diam di sisi ranjang

Berpikir….berpikir…
Kesunyian menyergap, hanya suara jangkrik dan binatang malam menyeruak masuk menghalau sepi. Lampu 5 watt tergantung malas diatas, melambai sesekali saat selarik angin masuk menyusup melewati jendela kamar yang terbuka. Pena masih menempel erat ditangan, bergerak keatas kebawah dengan cepat saat telunjuk dan jempol mempermainkannya. Kertas diatas meja masih putih, belum tercoret oleh tinta.

Berpikir…berpikir…
Alis berkerut, mata nanar menatap kertas, sedang pikiran masih berkelana tak bertujuan arah. Tangan kiriku meraih sebuah buku berwarna biru dirak buku dekat bahu kiriku, satu satunya barang yang masih tersisa disana. Kuamati warna biru yang sedikit memudar pada sampulnya,mungkin karena debu. Sebuah judul mengingatkan aku akan sebuah kisah yang telah lama, kisah yang sepertinya ingin aku kubur, manghapus dan melupakannya.

“Selamat ulang tahun Gebe, semoga panjang umur dan sukses selalu “ Kau merangkulku, merengkuhku dalam pelukanmu, dan dengan lembut tangan halusmu menjabatku. Aku melambung, anganku melayang. Wajahmu terlihat manis, dengan senyum yang bagiku teramat manis malam itu. Dari balik punggung kau perlihatkan sesuatu kepadaku. Bungkusan persegi dengan kertas pink sebagai pembalutnya, ada pita dan sebuah kartu ucapan tertempel di sana.
“ Ini untukmu, sudah lama sepertinya aku ingin menyerahkannya kepadamu, dan sekarang sepertinya saat yang tepat” kau menyerahkannya padaku. Aku hanya bisa tersenyum. Kau memang wanita tercantik, terkasih, dan tersayang. Sepertinya tak seorangpun wanita di dunia ini, mampu menyamai mu, kecuali ibuku tentunya.
“Apa ini?” aku mencoba mereka dan menebak, isi bungkusan berwarna pink, yang kini telah berpindah ketanganku.
“ Bukalah” ujarmu singkat.

Berpikir…berpikir…
Aaah!, otakku terasa buntu, tanganku seolah kaku. Tak selarik garispun yang bisa aku gambarkan di atas kertas putih ini. Ku coba buka satu lembaran buku bersampul biru itu. Hampir satu minggu, sejak hari ulang tahunku aku tak berani kembali membuka buku itu. Entahlah, seperti ada perasaan bersalah yang terus menggelayut dipikiran saat membaca judulnya, bahkan mengamati setiap isi yang tercetak dilembaran bergaris birunya.
“ Sungguh aku tak bisa…“ aku hanya bisa mendesah, beban ini terasa berat bagiku. Tapi apa mau di kata, aku harus melakukannya. Kuletakkan pena di atas meja, kemudian dengan kedua tangan, aku menyisir rambutku kebelakang. Kau memang wanita tercantik, terkasih dan tersayang. Namun perbuatanmu seolah tak mampu menyambung kata ma’afku untuk terlantun kepadamu. Padahal beberapa teman telah memperingatkan aku sebelumnya tentang tabiatmu, namun entah aku tak pernah menggubrisnya, aku seperti terhipnotis oleh segala pesonamu, bagiku kau baik tak ketus seperti yang mereka katakan, buatku kau lembut tak judes seperti yang mereka prasangkakan. Namun apa mau di kata, satu kenyataan pahit harus aku tempuh. Aku harus meninggalkanmu. Biarlah rasa ini aku kubur sendiri, dibatas hati yang semestinya terisi oleh lembaran kehidupan bahagia bersamamu. Karena aku terlampau segan meski hanya sekedar bertatapan denganmu.

Pertemuanku denganmu sungguh bukan sebuah kesengajaan. Saat suatu sore di bulan Maret yang berangin. Berbekal satu - satunya sepuluh ribu yang tersisa di kantong, aku sengaja datang ketempatmu, alasan… mungkin bisa aku karang selama perjalanan menuju ketempatmu, namun niat bulatku untuk bertemu denganmu mengalahkan segala logika dan etika yang berlaku,
“Ada kopi ? “ tanyaku sesaat setelah kita saling bertegur sapa, kebetulan hari itu engkau ada, ngga sopan!, tapi biarlah, cinta telah mengalahkan logika, bahkan pikiran waras sekalipun.
“ Ada, terus apa lagi ?” tanyamu seolah tak terganggu dengan ketidak sopananku.
“ Kue kering boleh deh kalau ada “ benar-benar ngelunjak, aku seperti kesetanan. Tak sadar bahwa aku ketempatmu hanya berbekal uang sepuluh ribu saja. Dan apa katamu nanti jika tahu bahwa aku hanya membawa sepuluh ribu saja. Ah! itu di pikir belakang saja, pikirku.

Pertemuan itu singkat namun membekas bagiku, dan aku menyangka kau pun memiliki perasaan yang sama denganku, sebab saat aku berpamitan tadi, sekilas kulihat kau menuliskan sesuatu di bukumu, dan otak warasku mereka-reka bahwa itu mungkin buku harianmu, mungkin kau tulis disana kesanmu akan pertemuan singkat kita tadi. Ah mengingatnya membuat aku semakin sesak saja.

Berpikir…berpikir…
15 menit berlalu tanpa kejadian apa-apa, aku masih asyik membolak-balik buku bersampul biru, kuamati setiap lekuk tulisan tanganmu disana, tanpa sedikitpun mencerna makna dibalik tulisannya. Ah!, aku terlalu takut untuk mengira-ngira berapa banyak isinya, entah dapat pikiran darimana, otak warasku tiba-tiba saja menjernih, memberikan aku sebuah ide, menawarkan aku sebuah jalan keluar, yang tentunya tak seorangpun diantara kita akan tersakiti. Cepat kuambil pena yang tergeletak diatas meja, kemudian dengan pasti kutuliskan sebuah kalimat diatasnya.

Teruntuk Shinta beserta orangtua

Waktu seminggu yang kamu beserta orangtuamu berikan rasanya sudah cukup buat aku untuk menimbang, memikirkan yang kemudian berujung pada sebuah keputusan. Berat memang awal yang harus aku tempuh, namun pada akhirnya keadaanlah yang akhirnya memaksaku untuk memutuskannya, sebelumnya aku meminta ma’af yang sebesar-besarnnya, apabila jawaban yang nantinya aku berikan membuat kamu maupun orang tuamu merasa dikecewakan, sungguh semua semata karena keadaan yang memang memaksa aku harus berbuat demikian, jadi aku harap jawaban ini bisa membuatmu maupun orangtuamu bisa mengerti dengan keadaan yang ada.

Memang benar kontrakan aku telah tertunggak selama hampir 2 bulan, ini semata bukan karena ada unsur kesengajaan, melainkan memang kiriman yang tak kunjung tiba dari kampung, aku harap kamu, bapak serta ibu bisa memakluminya. Sedangkan hutangku sebesar 150.000 ditokomu sepertinya memang belum bisa aku lunasi, dan alasanku pun tetap sama yakni keterlambatan kiriman dari kampung.

Jadi mungkin itulah jawaban dari aku. Aku hanya minta permaklumannya saja dari kamu, maupun bapak dan ibu sebagai pemilik kontrakan sekaligus pemilik toko. Dan aku berjanji untuk segera melunasi segala tunggakan maupun hutangku sesegera mungkin apa bila kiriman telah tiba.

Akhir kata, permohonan ma’af untuk terakhir kali dan semoga kamu dan keluarga bisa berkenan.

Salam
Gebe.


Aku hanya bisa tersenyum kecut, saat kembali membaca tiap kata dari surat yang aku tulis tadi, ku tengadahkan kepala sambil membayangkan senyum Shinta waktu itu, kala kubuka bungkusan berwarna pink hadiah ulang tahunku darinya untuk pertama kali . sebuah tulisan bertinta silver diatas buku bersampul biru yang secara otomatis telah membuyarkan anganku.malam di hari ulang tahunku, sebuah buku berjudul “ Catatan Hutang Anak Kos Mawar Berduri” telah mengoyak segala niatan yang kususun jauh hari. Niat mengajak Shinta, anak semata wayang pemilik kontrakan dimana aku tinggal, untuk menonton bioskop dihari ulang tahunku urung aku ungkapkan. dan kenyataan yang ada, aku malah dibuat malu oleh "surprise" yang di berikannya.

Kulipat rapi kertas suratku, dan dengan perasaan bersalah, kuselipkan lipatan surat kedalam buku bersampul biru. Sambil menggendong backpack yang telah penuh berisi baju, dan koper yang berisi buku aku berjalan menuju pintu. sekali lagi kusapu penjuru kamar dengan perasaan sedih juga bersalah, buku bersampul biru masih tergeletak diatas meja dan memang sengaja aku tinggalkan agar Shinta bisa menemukannya membaca suratku dan berharap dia mau mengerti.
" Please forgive me" lirih dan aku merasa suaraku hampir tak keluar.
malam itu aku pergi, bukan kabur, melainkan menenangkan hati yang telah tersakiti...halaah..ngga bisa bayar kok ya kabur..dasar Gebe geblek..
Powered By Blogger